Counting days to 2017, rasanya 2016 bener-bener cepet banget berlalu. Besok udah tahun baru, coi. Aku merasa tahun 2016 merupakan spot titik balikku. Banyak hal baru yang aku coba di tahun ini. Hal-hal yang mungkin nggak terlalu ekstrim untuk banyak orang. Tapi, buatku hal baru ini merupakan sesuatu yang challenging karena aku nggak pernah nyangka akan terjun ke situ.
Hal baru itu adalah menjadi blogger dan aktif di dunia media online.
Aku tahu, sepertinya itu sepele. But for me, it's a big deal. Aku harus berkutat dengan hal-hal yang aku hindari, seperti ngutak-atik HTML, belajar corel draw, berusaha networking dan yang pasti keluar dari zona nyaman.
Namun, di samping hal baru yang aku tekuni dengan excited, ada juga rasa kecewa yang aku alami. Ada beberapa rencana dan goals yang tidak tercapai di tahun 2016. Goals semacam balik lagi rutin aerobic, rutin nabung, selesai skripsi, liburan ke luar kota, dan baca buku minimal 1 dalam seminggu.
Nggak ada yang terelaisasi. Yaelah, Fa...
Ketidakmampuanku untuk merealisasikan rencana-rencanaku itu sebenernya disebabkan oleh banyak hal. Kalau lebih dispesifikkan lagi, pasti ada banyak alasan baik yang benar atau cuma dibuat-buat yang melatarbelakanginya. Apalagi masalah skripsi. Hadeeeeeeeeeh! Ini nih...
Secara umum ada 3 hal yang membuat aku nggak mampu mewujudkan goals-ku di tahun 2016. Hal-hal tersebut antara lain:
1. Ketidakrealistisan dan tidak stick to the plan
Sering kali saat aku udah bikin to-do-list di daily planner-ku, bukannya mencoba berusaha untuk stick to the plan, aku malah suka banget ngulur waktu. Alhasil, aku juga sering keteteran dan nggak bisa catch up ketertinggalanku dengan mudah. Kadang karena ada hard feeling ke dosbing, aku jadi enggan untuk segera menyelesaikan dan merasa santai aja.
Sehari, dua hari, aku ulur waktu. Ah, not big deal. Seminggu berlalu, aku liat kalender, ah masih bisa dikejar...
Lalu tiba-tiba udah satu bulan nggak bimbingan. Badalah!
Kebiasaan yang seperti ini bisa saja kita ulangi lain waktu saat kita merasa berat dengan prioritas utama yang harus kita selesaikan. Iya sih, we deserve to get a break. Tapi jangan sampe kita tunda pekerjaan itu terlalu lama. Kita bisa menyiasatinya dengan:
- Membagi prioritas tersebut menjadi beberapa bagian yang skalanya lebih kecil dan mampu kita selesaikan dalam waktu
singkatyang tidak terlalu lama. Jangan memaksakan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan besar dan berat dalam waktu singkat. It can be too stressful to get done. - Menjaga ritme kerja dan fokus pada SATU pekerjaan saja. Aku nggak bisa multitasking dan cepet hilang fokus saat terpaksa harus melakukan multitasking. Bahayanya pun pernah dipaparkan oleh Yodhia Antariksa melalui podcast "Bahaya Maut Multitasking".
- Istirahat dan olah raga yang cukup. Nggak ada hubungannya? Ada. Badan yang istirahat dan olah raga cukup akan lebih fit dan nggak gampang capek saat harus bekerja dengan pace yang cepet. Produktifitas akan lebih meningkat dengan menerapkan kedua hal ini.
2. Ketidaksadaran akan kelemahan yang kita punya
Sejak kecil aku udah terbiasa dididik untuk jadi anak yang manut atau
penurut. Sama orang lain tuh usahain buat bilang "iya", apalagi sama
orang tua. Mengatakan "iya" saat orang lain meminta tolong, membuktikan
bahwa kita bersedia membantunya.
Selain itu, ada juga kebiasaan untuk letting go sesuatu yang sekiranya salah dan membebani kita. Kebiasaan nrimo atau menerima ini katanya termasuk dalam kategori rasa sabar tingkat tinggi. Orang sabar disayang Tuhan, gitu katanya.
Selain itu, ada juga kebiasaan untuk letting go sesuatu yang sekiranya salah dan membebani kita. Kebiasaan nrimo atau menerima ini katanya termasuk dalam kategori rasa sabar tingkat tinggi. Orang sabar disayang Tuhan, gitu katanya.
Tapi,
makin ke sini, orang-orang kok makin banyak yang ngelunjak ya?
Di-iyain, jadi minta tolong terus. Giliran dimintain tolong, nggak mau
bantu. Waktu salah, kita berusaha sabar dan mereka kita diemin aja.
Lama-lama, kok perilakunya makin melenceng?
Ternyata,
kebiasaan dan rutinitas yang udah kita biasa lakukan sejak kecil bisa
jadi nggak mampu lepas sampe kita dewasa. Kebiasaan-kebiasaan tersebut,
tanpa kita sadari, menjadi sesuatu yang merupakan kelemahan dari diri
kita.
Kadang kita nggak tahu harus melakukan apa dan menempatkan diri sebagai siapa dalam society yang terlanjur membentuk kebiasaan kita. Dalam mencapai goals kita, ada kalanya kita nggak boleh selalu nge-iyain dan nrimo apa yang orang lain katakan ke kita.
Aku
merasa, subjek penelitianku udah cukup bagus saat awal aku mulai
skripsi. Waktu udah hampir masuk penelitian, subjekku ditolak sama
dosenku tanpa aku berusaha nego dengan mengajukan lebih banyak list pro
daripada kontra ke beliau. Aku cuma manut aja karena aku takut dianggap ngelunjak dan keras kepala.
Eh, tahunya temen-temenku banyak yang nego di awal pengerjaan skripsi dan bisa buat kekeuh nggak mau ganti.
Yah, kalau menengok ke belakang, pasti ada rasa penyesalan. Kenapa dulu aku nggak berusaha untuk berkata "tidak" dan memperkuat alasan-alasan rasional yang bisa mempertahankan keputusanku aja ya? Itu aku harus mulai lebih peka dan mulai belajar untuk bernegosiasi dengan lebih baik lagi. Kalau nggak, bisa nggak dapet apa-apa dong :')
3. Feeling too comfort with the comfort-zone
Jujur ya, ngerjain skripsi itu
ngebosenin banget. Apalagi saat nggak ada temen yang satu objek yang
bisa diajak diskusi bareng. Belum lagi kalau temen-temen seangkatan udah
pada ninggalin dan aku jadi "the last warrior" di angkatanku.
Sebenernya masih ada temen-temen yang belum lulus juga. Kakak tingkat
pun masih ada sebagian yang belum selesai. Tapi tetep aja kan, rasanya
sedih dan jengah gitu.
Kalau
udah jengah, lalu apa? Aku sih bukannya cepet-cepet nyelesein, tapi
malah kabur ngerjain yang lain. Kerja freelance dan blogging adalah
pengalihan fokus skripsi yang jitu. HAHAHA.
Aku rasa aku terlalu banyak beralasan tentang skripsiku yang susah. Ya, skripsiku susah karena bukan itu yang dari awal pengen aku teliti. Seperti yang udah aku jelaskan di poin 2, aku udah sempet ngerjain skripsi dengan subjek berbeda. Saat udah hampir masuk ke BAB penelitian dan pembahasan, dosen pembimbingku merasa nggak sreg dan nyuruh aku untuk ganti.
Seketika langsung nge-drop. Walau aku mahasiswa jurusan pendidikan, tapi aku ambil skripsi sastra dan aku neliti novel berbahasa Prancis. Terpaksa baca novel baru dari awal. Mana tebel, bahasannya nggak pernah aku pelajari sebelumnya, ada banyak istilah Bahasa Afrika lagi. Bahasa Prancis udah susah, tambah Bahasa Afrika. Tanya temen yang dari Mali juga nggak seberapa ngebantu. Dosen pembimbing juga tipenya yang tough love gitu...
Susah rasanya buat mulai dari awal lagi. Rasanya udah rontok serontok-rontoknya deh semangat ini.
But then, I got in a very serious conversation with my adviser. Suatu hari saat bimbingan, beliau berkata seperti ini:
"Mahasiswa yang bimbingan sama saya itu saya tanyain satu-satu: kamu mau jadi apa setelah lulus? Mau asal cepet aja yang penting lulus? Abis lulus mau nikah aja terus udah? Mau jadi pengusaha? Peneliti? Mau S2 lagi atau gimana? Kalau cuma mau waton (asal) lulus aja, ya sini nggak usah revisi tapi skripsimu dapet C. Kalau mau lebih dari itu, ya saya revisi berkali-kali sampe bener. Toh kalau ujian gampang dan dapet A kan untuk mahasiswa juga."
Oke. Iya juga sih. Setelah ini aku masih pengen S2 dan aku pengen banget jadi dosen. Kalau aku berharap skripsiku gampang, ya kayanya dibolehin aja sama beliau. Tapi kalau sekarang gampang, apa iya udah pasti bisa menghadapi yang lebih "menantang" di masa yang akan datang?
Sebenernya sih, kalau mau realistis ya, nggak usah susah-susah deh. Aku orangnya nggak idealis apalagi perfeksionis. Tapi dosen pembimbingku orangnya super strict dan sangat idealis. Beliau sangat yakin kalau kesuksesan itu hasil kerja keras dan susah payah saat ini. Walau rasanya susah untuk memercayai omongan beliau, aku tetep optimis bahwa susahnya skripsiku saat ini akan mempermudah jalanku untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat nantinya.
So, don't be afraid to get your ass off and get out from you comfort-zone.
2016 memang sudah di penghujungnya. Tapi semangat kita masih harus berlanjut dan nggak boleh berhenti sampe sini aja. Rencana jadi wacana? Hmm, rasanya bisa kita minimalisir kalau 3 penyebab utamanya sudah bisa kita hindari. Jangan pernah capek buat merasa capek. Rasa capek itu akan terus ada, tergantung bagaimana cara kita mengendalikannya.
Selamat menyongsong tahun yang baru dengan semangat yang lebih menggebu ya teman-teman! Happy
Selamat menyongsong tahun yang baru dengan semangat yang lebih menggebu ya teman-teman! Happy
www.extraodiary.com
Kalo udah seusiaku, nabung itu udah jadi kewajiban. Harus bener-bener siap karena bakal lebih banyak pengeluaran tak terduga :')
Bold dan higlight banget nih "tidak stick to the plan" jadi satu penyebab apapun rencana jd wacana. Selamat berjuang, stay strong yak :D Great thing never comes easy, it's worth to fight! :)
InsyaAllah worth to fight :D
Emang bener sih, kalo resolusi ga dibumbuin komitmen sama aja boong dong ya. :D
tips diatas mungkin bisa saya coba. makasih mba
Kenapa ya kok dulu bisa lebih disiplin dari sekarang? Kalo di kasusku, mungkin karena kegiatanku dulu lebih padet, jadi cenderung terorganisir. Sekarang skripsi + freelance, malah jadi merasa terlalu santai :'
semoga semua planning ditahun ini terwujud ya mba ^^
Aku pun sempet sakit dan sakitnya pas lagi padet kerjaan. Kerjaan jadi numpuk dan skripsi terbengkalai lagi dan lagi... Mulai sekarang pikirannya lebih positif aja sama dikumpulin temen2 yang belum kelar biar bisa ngerjain bareng dan saling motivasi :')
Amiiiiin. Semoga planning-mu tahun ini juga tercapai yaaaa :D
tapi seiring berjalannya waktu, sempet nulis 2 artikel tentang mengatasi cara malas menulis dan syukurlah caranya ampuh buat saya. jd sepertinya setiap orang emang harus mengolah ramuan anti wacananya sendiri hehehe
Post a Comment