Berada di fase umur 20an, punya pekerjaan yang stable adalah impian saya. Dulu saya selalu membayangkan pekerjaan dengan workspace di kubikel yang dilengkapi komputer dan foto-foto saya sepulang travelling bersama dengan sahabat-sahabat saya.
Well, that never happened. Not yet.
Growing up, I always have this imagination of ideal job. Saya selalu membayangkan untuk punya pekerjaan yang "aman" tanpa harus terlalu ribet memikirkan apa yang harus saya lakukan untuk mempertahankan pekerjaan tersebut. Itu kenapa, menjelang akhir masa SMA, saya memutuskan untuk mengambil jurusan pendidikan di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Saya pikir, nantinya saya akan punya pekerjaan "aman" sebagai guru bahasa.
Setelah lulus, ternyata saya nggak bekerja sebagi guru dan menjalani pekerjaan yang nggak pernah kepikiran bakal saya lakoni: freelance. Apakah ini pekerjaan yang "aman"?
Bayangan Akan Pekerjaan yang Ideal dan Aman
Ibu saya bekerja sebagai karyawan di salah satu hotel bintang 4 yang cukup terkenal di Jogja. Beliau termasuk karyawan yang loyal dan pekerja keras. Tapi setelah lebih dari 20 tahun bekerja, beliau dipecat karena manajemen yang baru dari hotel tersebut ingin cut biaya pegawai dan mempertahankan lebih banyak tenaga out-sourcing. Seketika itu, kepercayaan saya akan pekerjaan yang aman langsung hilang.
Dulu saat SMP, Bapak juga mengalami pemecatan karena perusahaan tempatnya bekerja mengalami kerugian yang amat sangat besar. Saya tidak terlalu peduli saat itu karena keluarga saya masih survive dan untungnya kami sudah punya rumah sendiri. Tapi saat Ibu dipecat, saya merasa sedih nggak karuan. Apalagi saat saya tau kalau pesangon untuk ibu hanya dibayar separuhnya. Makin nggak karuan rasanya.
Bayangan saya akan pekerjaan ideal dan "aman" makin blurry saat masih menyelesaikan skripsi. Kala itu, saya termasuk sedikit dari teman-teman yang betah menyandang status mahasiswa. Banyak dari teman-teman saya yang sudah lulus dan menyicipi indahnya status sebagai fresh graduates dan karyawan.
Sampai suatu hari, ada kabar mengenai perusahaan start-up yang mengadakan pemecatan besar-besaran terhadap karyawannya. Beberapa teman saya masuk dalam list "karyawan yang dipecat" dari perusahaan tersebut. Belum ada setahun bekerja, tapi sudah jadi korban pemecatan.
Young & Fired
Saya nggak tau rasanya "dipecat", sampai saya mengalaminya sendiri tahun ini.
Saat itu saya dan (mantan) bu bos berencana meeting untuk mengambil strategi berikutnya. Lama ngobrol, bu bos bertanya kepada saya, "Ifa, kalau sementara ini off dulu gimana? Nanti kalau sudah ada perkembangan, aku hubungi lagi". Roman-romannya nggak enak banget. Hati kecil saya langsung mengatakan bahwa off yang dimaksud tidaklah sementara, melainkan permanently.
Baca juga: Polusi Asumsi yang Bikin Rendah Diri
Kenapa? Pertama, saya merasa belum becus mengemban tanggung jawab besar yang dibebankan perusahaan pada saya. Kalau saya dipertahankan, bos saya akan mengalami kerugian lebih besar karena memang usahanya yang masih sulit berkembang. Kedua, saya tidak dikontrak secara eksklusif untuk pekerjaan tersebut, sehingga saya bisa diberhentikan sewaktu-waktu tanpa warning apapun.
Seketika dunia saya runtuh pada saat itu. Impian saya untuk bisa nabung lebih demi melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi langsung musnah. Saya nggak mungkin S2 kalau nggak ada pekerjaan ini, pikir saya saat itu. Saya makin nggak percaya kalau di dunia ini ada pekerjaan yang "aman".
The Truth About The "Safe" Job
Dari semua pengalaman tersebut, saya sadar bahwa tidak ada pekerjaan yang "aman" di dunia ini. Even the safest job has its own risk. Kalau dipikir-pikir, pekerjaan ibu saya dulu bener-bener "aman", lho. Apalagi beliau pernah menjabat sebagai manager. Beliau loyal, berdedikasi tinggi, dan pekerja keras. Apa yang salah sampai ibu saya harus "dipecat" beberapa tahun sebelum masanya pensiun?
Baca juga: Menelaah Kembali Arti dari Kesuksesan
Nggak ada yang salah. Saya akui, sebenarnya saya menyalahkan pihak yang memecat ibu saya. Apalagi masalah pesangon yang hanya dibayar separuhnya. Tapi saya pikir, ya sudah deh... Mau gimana? Nuntut? Makin panjang urusannya... Memang sudah masanya ibu harus "berhenti" bekerja dari tempat itu.
Starting Over, Again
Sekarang gimana nasib Bapak, Ibu, saya, dan teman-teman saya yang sudah pernah jadi "korban" pemecatan. We're alright and survived. Saya tidak menampik kalau awalnya saya denial dan menyalahkan pihak lain akan nasib "apes" saya. Tapi dengan dukungan dari keluarga serta teman-teman, saya mulai optimis untuk start-over.
Alhamdulillah, sekarang saya sudah reboot dan menjalani keseharian sebagai freelancer untuk beberapa project. Ibu juga sudah settle dengan usaha snack yang dirintisnya. Bapak juga sudah bahagia dengan profesinya sebagai freelance tour guide. Teman-teman saya yang pernah dipecat juga sudah mulai start-over dan melangkah lebih optimis untuk kembali membangun karirnya.
Apakah kamu sudah merasa "aman" dengan pekerjaanmu?
Nggak ada kerja yang "aman" in term of "langgeng". Apalagi selama ini saya jadi "kuli" (bekerja utk orang lain, di perusahaan, punya atasan), maka pekerjaan kita akan tergantung, ya kondisi perekonomian, ya kemampuan perusahaan dll.
Ingin rasanya pengen punya usaha sendiri, tapi kekhawatiran akan kegagalan juga tinggi. Haha, maklum saia ternyata jiwa kuli 😂
Pokoknya semangat aja deh. Selama skill masih mumpuni, kesempatan pasti bakal ada terus :D
heyyyyyjudeeeee.com
Semangat terus kak Ifa! You can do it!
Post a Comment