Pasca mengalami patah hati, terus terang, saya memang jadi banyak berefleksi. Bahkan sampe sekarang, kadang saya cuma bisa menghela nafas panjang sembari ngomong, "jancuuuuuuuk" dan nggak punya pilihan lagi selain kembali beraktivitas dengan isi kepala dan suasana hati yang nggak karuan rasanya.
Lha wong permasalahan patah hati saya tuh karena sesuatu yang belum tuntas. Gimana bisa tenang, sih?
Setelah lebih sering berkontemplasi, saya akhirnya masuk ke titik di mana kesadaran tiba-tiba dibangunkan dengan fakta bahwa selama ini saya sudah terlarut dalam kebahagiaan semu. Fakta ini bukan sesuatu yang membanggakan, jelas. Tetapi dengan menyadari hal ini, saya jadi tau, owalah... selama ini aslinya nggak bahagia, to? Atau bahagia, tapi pada saat tertentu saja?
Baca juga: 7 Ways to Create Happiness
Benar, bahagia nggak bisa kita rasakan setiap waktu. Namun, ada kalanya kita benar-benar merasa berada di titik terendah kehidupan, sampe fokus kita hanya tertuju pada satu aspek yang merusak diri kita. Buat saya pribadi, aspek tersebut adalah lack of self love. Iya, saya sadar bahwa saya kurang mencintai diri saya sendiri, sampe saya terus-terusan cari validasi dari orang lain.
Kalau ditelaah lagi dari love language saya, memang tipe "words of affirmation" yang mendominasi diri saya. Dengan dominasi bahasa cinta yang satu ini, nggak munafik lah rasanya kalau saya suka saat ada orang lain mengapresiasi pencapaian yang saya miliki.
Masalah penampilan pun sering saya perhatikan supaya orang lain senang saat bertemu saya. Lebih baik lagi kalau mereka juga memuji diri saya. Itu mengapa saya selalu dress up dan makeup. Yha karena dengan itu saya merasa safe dan yakin bahwa orang akan nyaman dengan diri saya.
Wait is it a bad thing?
No, not all. Saya merasa, ini adalah bagian dari self love itu sendiri. Walau begitu, yang jadi masalah ketika kita berusaha menjadi yang terbaik dan tampil sempurna, adalah keinginan untuk constantly seeking for validation. Sikap itu yang akhirnya membuat langkah, yang awalnya bertujuan sebagai self love, malah menjadi toxic untuk diri kita sendiri.
Mungkin benar itu yang saya rasakan beberapa waktu belakangan. Saya terlalu fokus untuk mendapatkan lebih banyak validasi ketimbang berpikir bagaimana caranya untuk berkomitmen dengan hal-hal baik yang sudah saya punya. Entah itu masalah penampilan, pekerjaan, kompetensi, hingga percintaan. Karena kalau terpusat hanya pada pencarian validasi, nggak akan pernah habis, deh!
Setelah merasakan self worth diuji dan terpukul hingga bertubi-tubi, saya putuskan kalau sekarang waktunya untuk bangkit. Nggak ada lagi kata sembunyi di balik citra "sempurna" hanya untuk ngedapetin ungkapan pujian dari orang lain yang belum tentu layak untuk saya dapatkan. Lebih baik fokus pada kebaikan diri yang sudah ada dan terus menumbuhkan kebaikan tersebut di dalam diri saya.
Belajar mencintai diri sendiri, lagi? Harus! When we go down, the only way we go is up. So, keep moving and keep loving, Fa!
Baca juga: The Thought of Separation
Setelah merasakan self worth diuji dan terpukul hingga bertubi-tubi, saya putuskan kalau sekarang waktunya untuk bangkit. Nggak ada lagi kata sembunyi di balik citra "sempurna" hanya untuk ngedapetin ungkapan pujian dari orang lain yang belum tentu layak untuk saya dapatkan. Lebih baik fokus pada kebaikan diri yang sudah ada dan terus menumbuhkan kebaikan tersebut di dalam diri saya.
Belajar mencintai diri sendiri, lagi? Harus! When we go down, the only way we go is up. So, keep moving and keep loving, Fa!
Aku pun kalo ketemu orang, rapiin penampilan dulu, biar mereka merasa nhaman
Kalau mau mencintai aku juga boleh. Hahaha.
kidding mbak
Post a Comment