Sejak kecil saya suka banget sama kucing. Saat SD saya belum punya kesempatan untuk pelihara kucing tapi seneng banget kalau ada kucing yang mampir ke rumah. Selain saya, Bapak juga salah satu orang terdekat yang suka dengan kucing. Dulu beliau punya kucing peliharaan bernama Mia yang akhirnya juga jadi nama kucing saya yang pertama.
Saat itu saya masih SMA dan Mia pertama kali datang ke rumah dalam keadaan yang nggak begitu baik. Mia, kucing berwarna hitam yang sering mampir rumah kala itu, makin betah datang dan sering menginap di rumah. Sejak saat itu saya klaim Mia sebagai kucing saya.
Baca juga: Berdamai dengan Situasi Krisis Covid 19
8 tahun berlalu, Mia sakit dan saya tau bahwa saat itu dia sakit. Tapi karena saya masih kuliah dan orang tua saya belum bisa mengeluarkan biaya lebih untuk perawatan hewan, akhirnya saya usahakan untuk terus memberikan Mia makan. Beberapa hari kemudian, Mia pergi dan saya dapet laporan dari tetangga kalau Mia mati di belakang rumahnya. Sejak saat itu, saya nggak mau memelihara kucing lagi.
Mia adalah kucing yang berkesan untuk saya. Kadang saya masih memikirkan tentang Mia, seandainya pada saat itu pengetahuan saya tentang cara memelihara kucing lebih baik dari apa yang saya ketahui saat Mia masih ada, mungkin setidaknya saya bisa bersama dia lebih lama. Saya seharusnya secepat mungkin melakukan sterilisasi dan vaksinasi kepada Mia agar dia bertahan hidup lebih lama. Namun kurangnya pengetahuan saya saat itu akhirnya bisa jadi pelajara yang berharga untuk saya.
Baca juga: Podcast, Teman Ngantor Bareng Selama WFH
Sebenernya setelah Mia mati, saya ingin memelihara kucing lagi. Beberapa kali rumah saya menjadi shelter pemberhentian beberapa kucing liar dan mereka nggak pernah bertahan mampir lebih dari setahun. Ada beberapa yang memang hanya mampir saja, beberapa ada yang sempat saya rawat tapi pergi juga dari rumah, beberapa yang lain mati karena sakit dan nggak bisa saya selamatkan lagi.
Sama seperti membesarkan anak, setelah saya paham bahwa memelihara kucing juga memerlukan biaya yang nggak sedikit, saya bertekad untuk mengadopsi lagi setelah kondisi ekonomi saya lebih baik. Saya pun juga berusaha mengedukasi keluarga atau setidaknya orang-orang di rumah untuk memperlakukan kucing dengan layak. Tentunya untuk meminimalisir hal-hal yang nggak diinginkan.
Baca juga: 3 Kegiatan yang Bikin Happy Kala Pandemi
Sebelumnya Bapak saya juga kurang memahami bagaimana cara memelihara kucing yang benar. Dulu beliau pernah mencoba membawa 2 kucing kecil, tapi bukannya dikasih kandang dan ditaruh di dalam rumah, malah ditaruh di teras. Nggak bener emang... Sejak saat itu saya juga tegas ngasih tau kalau kucing juga nggak boleh makan sembarangan dan tidur di dalam rumah. Saat sakit pun langsung dibawa ke dokter dan perlu rutin check up untuk memastikan tubuhnya dalam keadaan sehat.
Lalu tahun lalu, tepatnya Agustus 2020, saya memutuskan untuk mengadopsi satu kucing oren dari temennya temen saya si Agi. Karena Agi punya kucing oren yang menggemaskan bernama Bob, saya jadi pengen punya satu yang sama seperti Bob. Setelah berhasil saya bawa pulang, saya langsung namai dia dengan julukan Bolu karena warnanya yang seperti kue bolu kukus. Saat itu umurnya masih sekitar 2 bulan dan dia masih keciiiiil sekali.
Awalnya memelihara kucing lagi nggak semudah memberi makan dan tempat kepada kucing yang memang rela mampir ke rumah kita. Kucing yang mampir ke rumah biasanya memang meminta makan dan mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat. Lain halnya dengan kucing adopsi yang mungkin udah terbiasa dengan keluarga dan rumah sebelumnya, jadi saat pindah pun proses adaptasinya lebih sulit dan perlu dikandang beberapa minggu sampe beneran terbiasa dengan tempat tinggalnya yang baru.
Sebulan setelah Bolu berada di rumah, dia udah mulai terbiasa dan senang mengeksplorasi rumah. Dulu saya sempet nggak bisa membiarkan dia pergi keluar rumah. Tetapi lama kelamaan saya relakan dan bersikap lebih santai ketika dia pergi main bahkan sampe ke area yang agak jauh dari rumah.
Daerah tempat tinggal saya masih di area pedesaan yang cukup kondusif dan Bolu sendiri masih takut dengan suara kendaraan dan orang asing, jadi bagi saya coping mechanism untuk melindungi dirinya juga cukup baik supaya terhindar dari hal-hal yang nggak diinginkan.
Sekarang setelah satu tahun, udah banyak hal yang berubah seiring pertumbuhannya yang tiap hari tuh adaaa aja yang baru. Dia udah disteril dan vaksin, makan pun termasuk lancar dan jarang sakit-sakitan. Hanya saja kalau masalah kutu masih perlu diobati secara berkala karena dia sering main di luar rumah dan mungkin bertemu dengan kucing-kucing lain, jadi kadang bikin dia masih gatelan di area leher.
Saya bersyukur dengan adanya Bolu di hidup saya. Dia yang sebelumnya nggak betahan di rumah, sekarang lebih sering tidur dan main di rumah. Mungkin karena beberapa waktu ini saya rutin memberikan dia cemilan dan makanan yang dirasa lebih enak untuk dia. Tapi keberadaan Bolu juga cukup berdampak kepada mental saya, jadi lebih damai dan bahagia ketika udah menyempatkan diri bermain bersama dia
Walaupun ada perubahan habit karena pasca steril biasanya kucing memang lebih senang di rumah, tapi jiwa kocheng oyen yang liar masih ada dan sering dia gunakan untuk berburu. Beberapa waktu yang lalu dia berhasil menangkap tikus, kelelewar, dan burung pipit yang biasa nangkring di pohon depan rumah.
Sial, sekarang udah nggak ada burung yang berkicau dan menghiasi pohon rumah saya gara-gara Bolu. Tetapi dia udah saya pasangin kalung lagi. Siapa tau kalau ada burung suatu saat nanti, Bolu hanya bisa mengusir tanpa memakannya. Yah setidaknya mereka selamat daripada harus mati di genggaman kocheng oyen.
Kira-kira saya perlu adopsi kucing lagi nggak ya? Hmmm, pengen sih. Let's see kalau akhir Q3 ini gaji saya naik ya? Kucing telon keknya lucu sih. Wkwkwkwkwk.
Post a Comment