Merasa Bahagia dengan Segala Resikonya

Merasa Bahagia dengan Segala Resikonya

Saya termasuk yang sempat memercayai sebuah fenomena, di mana saat kita sedang merasakan kebahagiaan, sesuatu yang buruk akan terjadi keesokan harinya. Sebuah mindset yang saya sesali karena kerap kali terbukti dan malah membuat saya merasa nggak layak berbahagia atas apa yang saya punya atau rasakan. Apalagi kuat rasa percaya saya tentang roda yang terus berputar. Kadang di atas, kadang di bawah.

Then why don't we ride that damn tire and be balance while it's rolling?

Betul, kadang kita merasa kebahagiaan datang hanya untuk sementara. Ditempa perasaan merana sepertinya lebih realistis daripada harus hidup dengan segala selebrasi yang fana. Beside, this life is just dunia tipu-tipu, right? I get it. Seakan realita yang kita rasakan bukanlah apa yang seharusnya kita rasakan.

Merasa Bahagia dengan Segala Resikonya

Kadang saya masih berpikir demikian. Keadaan beberapa kali memaksa saya untuk menahan rasa sakit di saat saya jatuh dan menyimpan rasa gembira ketika saya ingin merayakannya. Saya akan coba gambarkan dengan situasi saya saat ini, di mana saya terpaksa melakukan hal yang dianggap "lumrah" untuk dilakukan.

Saat kontrak kerja saya di-terminate, saya merasa "It's okay, I'm prepared for this" type of mentality. Lalu ketika saya masih belum bekerja kantoran lagi seperti saat ini, mentalitas saya jadi terkesan "Yah, belum dapet kerja. Mending coba ngelamar kerjaan sembarang apa aja deh yang penting kerja walau saya nggak tertarik menjalankannya".

Yah, gitulah kadang. Cuma, beneran nih? Emangnya itu yang beneran dirasain atau beneran harus dilakukan? Hmmm, kayanya nggak deh.


Disclaimer dulu, saya memang perasa dan saya sudah berdamai dengan istilah baper karena memang itu yang mendominasi personality saya. Saat orang lain melihatnya sebagai sebuah kelemahan, saya sudah bisa memanfaatkannya sebagai penanda tentang apa yang sejujurnya ingin saya lakukan. Porsinya pun sudah bisa diseimbangkan dengan pemikiran rasional dan jadi lebih mindful tentang diri saya sendiri.

Ketika saya merasa harus menepis apa yang sebenernya saya rasakan, di saat itu pula saya bisa mendeteksi bahwa saya masih denial. Betul, saya sudah bersiap untuk segala kemungkinan terburuk. Tetapi bukan berarti saya baik-baik saja. Betul, saya sudah di usia dewasa dan harus menabung lebih banyak untuk menyambung hidup. Tetapi bukan berarti saya harus menjauh dari apa yang sebenarnya saya inginkan.


Ah, saya lelah harus terus berlari memenuhi ekspektasi orang lain yang merasa lebih mengerti tentang apa yang seharusnya saya lakukan. Kayak, "Yaaa kalau kerjaan ilang mah nanti juga bisa dapet lagi." Tapi saat belum dapet? "Udahlaaah kerja seadanya aja yang penting ada pemasukan. Suka atau nggak suka mah urusan terakhir."

Mohon maaf, saya paham betul kalau saya nggak akan bahagia menjalani kehidupan lain di luar pekerjaan kalau harus dipaksa seperti itu. Saya merasa bahagia dengan apa yang sedang diusahakan saat ini. Saya mengerti bagaimana kondisi saya saat ini, jadi nggak ada alasan untuk saya nggak mencoba apa yang sebenarnya saya ingin coba sejak lama. Sekarang dan inilah waktunya.

Saya Berhak Merasa Bahagia

Rasa ragu memang masih menghantui. Nggak bisa dipungkiri kalau rasa percaya diri mengikis dari hari ke hari apabila saya terus menerus melihat ke belakang, terutama ketika dicap sebagai seseorang yang gagal. Apalagi saat saya sudah mengusahakan yang terbaik. Dan saya sadar bahwa inilah yang akan menghambat progres selanjutnya.


So, I choose to let go and move forward by taking actions on what make me genuinely happy. People will judge, especially if I live as someone who's not living up their standards. After all, I know how I feel about what I do, better that anyone else. 

I will choose happiness above all possible risks of being judged. I've seen enough of them and I won't invest too much on that kind of energy anymore.

2 Comments

I feel you mbaaaa. Pernah ada di posisi itu. Sempet ngerasa dulu, kok rasanya tiap kali bahagia, trus adaaaa aja penghalangnya di depan. Yg bikin kecewa lagi, sedih lagi. Sampe2 sempet mau nunjukin kalo aku happy, jadi ragu. Tapi kemudian, jadi sadar, kalo itu semua mindset. Di awal aku udah mikir begitu, jadinya kebawa trus. Sama aja kayak mitos hari Senin yg bikin males. Krn mikirnya udah begitu 😄. Seandainya dibalik cara pikir kalo Senin itu justru hari di mana kesempatan banyak terbuka, pasti beda cerita.

Dari situ aku mulai ngubah mindset. Udahlah, ga usah mikir yg jelek2. Mendingan aku ngelakuin apa yg memang bikin aku semangat. Toh memang itu yg penting kan, diri kita bahagia dengan apa yg dikerjakan. Kalo bikin ga senang, aku milih untuk keluar. Stress sendiri kalo dipaksain.
Penghuni 60 said…
kebahagiaan itu milik semua org kok, dan kebahagiaan itu tdk bisa diukur oleh apapun, bahkan materi.

salam kenal ya mbak, saya follow blognya